Minggu, 25 Desember 2011

Lokalitas Pendidikan di Era Global

Oleh : Leo Sutrisno
Dalam tahun 2011 ini kembali kebudayaan dan pendidikan masuk dalam ‘kandang’ yang sama setelah berpisah sekitar sepuluh tahun. Kebudayaan dan pendidikan bergabung ke dalam kementerian pendidikan dan kebudayaan. Penyatuan ini bermula dari keprihatinan masyarakat luas tentang hasil pendidikan belakangan ini.

MASYARAKAT merasakan ada kemerosotan moral yang merata. Banyak orang berpendapat bahwa pendidikan menghasilkan orang-orang yang pandai tetapi kurang berkarakter [Indonesia], orang yang pandai tetapi tidak berwajah Indonesia. Sementara itu, dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada di depannya, manusia memandang pendidikan merupakan sebuah aset yang sangat diperlukan. Pendidikan, walaupun bukan panasea, memiliki peran penting dalam perkembangan menusia baik individual maupun sosial. Pendidikan dipandang sebagai satu-satunya ‘alat’ yang tersedia untuk mendorong terwujudnya pembangunan manusia seutuhnya.
Dalam catatan pendidikan akhir tahun ini diangkat sebuah pertanyaan bagaimana cara ‘memproduksi’ manusia Indonesia dengan kepandaian bertaraf internasional dan tetap berkepribadian [Indonesia] melalui pendidikan. Ada beberapa teori yang dapat digunakan dalam menelaah lokalitas vs globalitas dalam pendidikan. Di antaranya adalah: teori menanam pohon, teori memelihara burung dalam sangkar, teori mengasah batu mulia, serta teori DNA.

Teori Menanam Pohon
Pohon tidak dapat tumbuh di sembarang tempat dan sembarang situasi. Pertumbuhan dan perkembangan pohon memerlukan syarat-syarat lingkungan tertentu. Namun, jika kondisi lingkungan cocok dan tersedia nutrisi yang tepat, pohon akan tumbuh dan berkembang secara optimal. Teori menanam pohon berasumsi bahwa proses untuk mengembangkan pengetahuan dan kearifan Indonesia harus berakar pada nilai dan tradisi Indonesia tetapi menyerap sumber-sumber eksternal yang berguna serta relevan dari sistem pengetahuan global. Dengan demikian, untuk memelihara dan mengembangkan pengetahuan dan kearifan Indonesia dalam era globalisasi ini memerlukan indentitas Keindonesiaan dan akar budaya Indonesia.

Kurikukum mest didasarkan bahwa nilai-nilai dan budaya Indonesia tetapu menyerap pengetahuan dan teknologi global intik mendorong perkembangan indiovidu dan komunitas Indonesia sebagai warga negara. Hasilnya adalah “a local person with international outlook, who will act locally and develop globally”

Teori Memelihara Burung
Pemilik akan selalu menjaga burungnya jangan sampai mendapat gangguan apapun dari luar sangkar. Semua yang datang dari luar ‘dicekal’ oleh dinding sangkar. Si burung tahu beres. Teori ini beranggapan bahwa proses untuk mendorong pengenbangan pengatahuan dan kearifan Indonesia mesti terbuka dengan pengetahuan yang datang dari luar tetapi juga membatasi dan menfokuskan perkembangan Indonesia dalam berinteraksi dengan dunia luar untuk menemukan kerangka acuan yang tepat dan khas bagi Indonesia. Kerangka acuan ibi digunakan untuk menyaring pengentahuan dan teknologi yang datang dari luar serta melindungi masyarakat Indonesia dari dampak negatif pengaruh global.
Itu berarti diperlukan kerangka acuan yang jelas batas-batas ideologi serta norma sosialnya dalam merancang kkurikulum sehingga semua aktivitas pendidikan memilih fokus yang jelas bola menghadapi pengetahuan global. Karena itu, loyalitas ke-Indonesiaan harus menjadi bagian inti dari pendidikan. Pendidikan akan menghasilkan, “a local person with bounded global outlook, who can act locally with filtered global knowledge”

Teori Mengasah Batu Mulia
Kita tahu bahwa pancaran cahaya dari batu mulia sangat dipengaruhi oleh posisi bidang permukaan yang diasah.
Itu berarti, dalam mengembangkan pengetahuan dan kearifan Indonesia harus tersedia ’benih Indonesia’ yang dapat ’mengkristalkan’ dan mengakumulasi pengetahuan dan teknologi global bagi bangsa Ibdonesia.
Kurikulum mesti menggunakan kebutuhan dan nilai-nilai Indonesia sebagai ’benih’ untuk mengakumulasi pengetahuan dan tekbologi global. Hasil pendidikan yang menggunakan teori mengasah batu mulia adalah ” a local person who remains a local person with some global knowledge and can act locally and think locally with increasing global techniques”

Teori DNA
DNA (deoxyribonucleic acid) atau Asam deoksiribonukleatadalah sejenis asam nukleat biomolekul utama penyusun berat kering setiap organisme. DNA pada umumnya terletak di dalam inti sel.
Secara garis besar, peran DNA di dalam sebuah sel adalah sebagai materi genetik. DNA menyimpan cetak biru bagi segala aktivitas sel. Ini berlaku umum bagi setiap organisme. Implementasi teori ini dalam pendidikan adalah penekanan pada identifikasi dan transplantasi pengentahuan dan tenologi glonal pada rantai DNA untuk mengganti komponen Indonesia yang lemah.
Kurikulum mesti memilih secara selektif dan seksama baik pengetahuan Indonesia maupun pengetahuan dan teknologi global untuk dijadikan elemen pengembangan pengetahuan dan kearifan Indonesia. Hasil pendidikan dengan teori ini adalah “a person with locally and globally mixed elements, who can act and think with mixed local and global knowledge”
Para perancang pendidikan Indonesia masa depan sebaiknya menggunakan salah satu dari teori ini untum membangun manusia Indobesia seutuhnya melalui pendidikan. Model ini ada baiknya juga diadopsi oleh para perangcang pendidikan di tingkat local, Kalimantan Barat, misalnya. Sebagai catatan, pendidikan di Malaysia mengadopsi teori menanam pohon. Hasilnya adalah orang Malaysia yang kepandaianya betaraf internasional tetapi tetap memegang teguh nilai dan budaya Malaysia. Indonesia sebaiknya demikian. Semoga!**

Courstesy : Pontianak Post Sabtu, 24 Desember 2011
DEPKOMINFO BEM-REMA



  © Blogger templates The Professional Template by BEM REMA STKIP-PGRI Pontianak 2011

Back to TOP