Kamis, 29 Desember 2011

8 Kritik Pendidikan 2011 versi PGRI



JAKARTA - Berbagai kebijakan dalam dunia pendidikan Indonesia sepanjang 2011 menuai beragam kontroversi. Meski terdapat kebijakan positif, namun tidak jarang kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah berdampak buruk dalam dunia pendidikan.

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menilai, kebijakan pendidikan Indonesia selama 2011 identik dengan tiga gejala, yaitu percobaan dan kegagalan (trial and error), reaktif (hit and run), serta cekik dan peras (kick and rush). Hal ini terlihat dalam berbagai peristiwa pendidikan sepanjang 2011.

Pertama, mekanisme penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang berubah-ubah. Pada 2010, penyaluran dana BOS tidak melibatkan pemerintah daerah (pemda), sementara pada 2011 penyaluran dana BOS melalui pemda.

Ketua Umum PGRI Sulistyo menyebutkan, penyaluran dana BOS pada 2011 merupakan mekanisme penyaluran terburuk.

"Dengan alasan agar lancar, penyaluran dana BOS pada 2012 mednatang dikembalikan seperti mekanisme pada 2010," ujar Sulistyo dalam Refleksi Pendidikan 2011 di Gedung Guru Indonesia, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (28/12/2011).

Kedua, lanjut Sulistyo, penerapan desentralisasi pendidikan dirasa tidak menguntungkan. Maka, akan dikembalikan ke dalam bentuk sentralisasi untuk kepentingan yang lebih besar. "Tetap harus ada evaluasi dari pemerintah agar tidak serta merta memusatkan guru di pusat atau di daerah," katanya menjelaskan.

Ketiga, terkait kesejahteraan guru yang meliputi penghasilan, ketenangan, dan keselamatan kerja. "Urusan penyaluran tunjangan profesi guru masih mengalami keterlambatan dan pemotongan, " tuturnya.

Selain keterlambatan dan pemotongan tunjangan guru, upaya profesionalisasi guru melalui sertifikasi juga menuai kontroversi. Pasalnya, untuk menempuh proses sertifikasi, para guru harus melawati sejumlah seleksi dan mendapatkan tekanan secara mental.

"Pendekatan kepada para guru untuk melakukan sertifikasi tidak perlulah dengan cara menakut-nakuti, misalnya dengan mengurangi atau mencabut tunjangan. Jangan jadi alat untuk menganiaya guru," katanya.

Sulistyo mengaku, memang masih ada guru dengan kualitas mengajar yang tidak sesuai standar sehingga mengalami kesulitan dalam mengikuti proses sertifikasi. Dia mencontohkan, banyak juga guru yang kinerjanya rendah karena proses perekrutan mereka yang asal, misalnya hanya lulusan SMP atau setingkat lainnya.

"Maka, kami juga mengupayakan untuk meningkatkan kinerja guru, profesionalitas guru, serta kinerja birokrasi pendidikan," ujarnya.

Keempat, lanjut Sulistyo, pendidikan karakter yang dicanangkan oleh pemerintah terancam gagal. Pendidikan karakter bukan hanya berlangsung di sekolah, tapi dimulai dari keluarga dan diaplikasikan dalam masyarakat luas.

"Para guru selaku pendidik merasa miris melihat perilaku pemimpin yang minim teladan dan penegakkan hukum yang merisaukan. Tidak jarang guru merasa stres karena tidak sanggup menanggung beban dalam pendidikan karakter ditambah persoalan pribadi terkait birokrasi," kata Sulistyo.

Kelima, yaitu Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang sarat diskriminasi, melemahkan nasionalisme, dan menjadi lahan korupsi.

Keenam, Ujian Nasional (UN). PGRI menilai, UN bukan hanya gagal meningkatkan mutu, tetapi juga menanamkan nilai koruptif pada murid.

"Soal pilihan ganda pada UN harusnya diganti dengan soal-soal yang lebih kreatif dan mengasah daya pikir anak dalam memecahkan suatu persoalan," ujar Sulistyo.

Tujuh, terkait Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) guna mengganti UU Badan Hukum Pendidikan (BHP). RUU PT mendapat dukungan dari PT yang menerapkan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dengan tujuan memperoleh payung hukum dalam mengomersialkan pendidikan.

Terakhir, munculnya radikalisme, perekrutan murid oleh berbagai aliran sesat, serta tawuran pelajar yang meningkat dua kali lipat. Kondisi ini menjadi wujud nyata konsep pendidikan karakter yang diusung pemerintah belum membuahkan hasil.

"Sementara, isu pendidikan pada 2012 kami perkirakan masih berkisar mengenai pendidikan dan kebudayaan, mekanisme dana BOS SMA/SMK, sentralisasi guru atau pendidikan, profesionalisme dan sertifikasi guru, pendidikan karakter, RSBI dan RUU PT, serta UN," ujar Sulistyo menandaskan.

Courtesy : Okezone.com
READ MORE - 8 Kritik Pendidikan 2011 versi PGRI

Read more...

Guru Spesial di Mata Soekarno

Pemimpin! Guru! Alangkah hebatnya pekerjaan menjadi pemimpin di dalam sekolah, menjadi guru di dalam arti yang spesial, yakni menjadi pembentuk akal dan jiwa anak-anak! Terutama sekali di zaman kebangkitan! Hari kemudiannya manusia adalah di dalam tangan guru itu, menjadi manusia”.

DEMIKIAN pendapat presiden pertama RI Ir. Soekarno tentang guru, yang penulis kutip dari buku karangannya, Dibawah Bendera Revolusi. Dalam pandangan Soekarno, guru adalah pekerjaan yang mulia karena di tangan gurulah masa depan bangsa ini ditentukan.Guru adalah pahlawan pembangunan, karena di tangan para guru, kelak lahir “pahlawan-pahlawan pembangunan” yang kelak mengisi ruang-ruang publik di negeri ini. Namun seorang guru juga bisa menjadi sebab hancurnya masa depan bangsa ini, mengingat tidak semua guru itu tindak tanduknya mencerminkan perilaku seorang guru. Tidak sedikit guru yang perilakunya justru berlawanan dengan predikatnya sebagai guru, atau tidak layak untuk diikuti dan apalagi dijadikan sebagai teladan bagi anak didiknya.
Lahirnya manusia-manusia yang berhati jahat, yang mengisi negeri ini tidak dengan pembangunan tapi dengan perbuatan jahat – berdampak munculnya keadaan yang tak menyenangkan seperti: kekerasan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bertanah air, terjadi wabah penyakit korupsi, penurunan moral, dan sebagainya – tentu saja “guru-guru” punya andil atas keadaan-keadaan yang tak menyenangkan tersebut.
Di dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, Soekarno menguraikan: “Guru yang sifat hakekatnya hijau akan “beranak” hijau, guru yang sifat hakekatnya hitam akan “beranak” hitam, guru merah akan “beranak” merah.”
Inti dari apa yang diuraikan Soekarno di atas menjelaskan bahwa hasil dari pendidikan sangat ditentukan oleh faktor guru. Guru yang tidak konsisten dengan apa yang diajarkan, di depan para murid ia mengajarkan kebaikan tetapi di belakang muridnya, ia justru melanggarnya, guru yang demikian tentu tidak patut dijadikan teladan, atau dalam istilah jawa digugu (dipatuhi) dan ditiru (diikuti). Karena itu tugas seorang guru, di samping melakukan tugas pengajaran di kelas (proses belajar mengajar), ia juga bisa menjadi teladan bagi murid-muridnya, yang dibuktikan dengan perilaku kesehariannya.
Oleh sebab itu Soekarno menganggap perlunya pendidikan yang demokratis yang berbasis kerakyatan. Beliau menguraikan, Inilah arti yang dalam daripada perkataan Proudhon berhubung dengan roh kerakyatan itu bahwa “democratic is pendocratic”, yakni bahwa “volks-regereen is kinder-regereen”. Inilah arti yang dalam daripada perkataan bijaksana satu sistem di mana opveendingprincipe mengambil tembat yang terkemuka dan terpenting...”
Sangat menarik di sini adalah Soekarno mengambil istilah kerakyatan dari Proudhon, pemikir sosialis yang hidup pada tahun 1809-1865. Lalu, apa inti pemikiran sosialis Proudhon itu? Proudhon sendiri dalam banyak hal sering berseberangan pendapat dengan Karl Marx dalam merumuskan sosialisme. Proudhon tidak suka dengan jalan pemberontakan dan pemogokan. Ia khawatir kekerasan terhadap pemilik modal akan menghasilkan kediktatoran dan anarki yang pada gilirannya akan mempertajam pertentangan kelas. Semula Proudhon menyebut sistemnya bukan sosialisme, melainkan mutualisme, yaitu sistem sosial yang didasarkan pada hubungan timbal balik.
Jadi berdasarkan “sistem mutualisme”, sistem hubungan timbal balik yang menjadi akar sosialisme Proudhon inilah pemikiran Soekarno dapat dibaca. Artinya, roh kerakyatan yang harus diterapkan di dalam proses pendidikan hendaknya didasarkan pada hubungan timbal balik antara guru dan murid. Dewasa ini, kecenderungan pemikiran semacam itu juga cukup kuat. Hubungan-hubungan yang sifatnya kemitraan dalam proses belajar mengajar perlu ditonjolkan sehingga tercipta hubungan interaktif-dialogis yang saling menguntungkan. Analisis ini juga diperkuat oleh pernyataan Soekarno, bahwa di dalam proses belajar, guru tidak boleh melakukannya dengan pola-pola indoktrinatif - atau seperti yang tertulis dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, dengan cara dogmatis.

Guru Spesial
Guru yang baik, guru yang menjadi harapan masyarakat, guru di dalam arti yang spesial menurut Soekarno adalah guru yang bukan saja memenuhi syarat-syarat teknik, melainkan juga memiliki semangat untuk membangun. Guru yang ideal, bukan sekedar guru yang memenuhi syarat-syarat teknik: pintar, pandai, dan sebagainya sesuai dengan bidang ilmu yang dimiliki, melainkan yang jauh lebih penting dari itu semua, guru harus bisa menempatkan dirinya sebagai agen perubahan (agent of change).
Sebagai agen perubahan (agent of change), seorang guru tidak seharusnya membicarakan realitas seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, dan terpisah satu sama lain dan dapat diramalkan. Jadi para guru menguraikan suatu topik yang sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para murid. Seolah-olah tugas guru adalah mengisi para murid dengan bahan-bahan yang dituturkannya, bahan-bahan yang lepas dari realitas, terpisah dari totalitas yang melahirkannya, dan dapat memberinya arti. Tugas guru adalah menumbuhkan keingintahuan anak didik dan mengarahkannya dengan cara yang paling mereka harapkan dan paling mereka minati. Jika anak didik diberi rasa aman, dihindarkan dari celaan dan cemoohan, berani berekspresi dan bereksplorasi secara leluasa, ia akan tumbuh dengan penuh rasa percaya diri dan berkembang menjadi dirinya sendiri.
Pada aras inilah seorang guru bisa menjadi pahlawan, yaitu “pahlawan pembangunan”, memiliki jiwa juang, memiliki semangat untuk berkurban, dan menjadi pionir bagi kemajuan masyarakat. Dengan demikian tugas seorang guru tidaklah ringan. Guru yang baik tidak hanya memberi tahu, tidak hanya menjelaskan, tidak hanya mendemonstrasikan, tapi juga bisa menginspirasi.
Seorang guru harus mampu memandang jauh ke depan, perubahan apa yang bakal terjadi di hari esok. Dengan demikian seorang guru akan merencanakan apa yang terbaik untuk diberikan kepada anak didiknya. Bagaimana ia sebagai motivator, memotivasi anak didiknya agar penuh semangat dan siap menghadapi serta menyongsong perubahan hari esok. Peran seperti inilah yang disebut oleh Presiden Soekarno, sebagai “Guru di dalam arti yang spesial, yakni menjadi pembentuk akal dan jiwa anak-anak.” ***

*) Penulis, Dosen Luar Biasa STAIN Pontianak. Menulis Buku Pendidikan di Mata Soekarno (2009).

Courtesy : Pontianak Post
DEPKOMINFO BEM REMA
READ MORE - Guru Spesial di Mata Soekarno

Read more...

Minggu, 25 Desember 2011

Lokalitas Pendidikan di Era Global

Oleh : Leo Sutrisno
Dalam tahun 2011 ini kembali kebudayaan dan pendidikan masuk dalam ‘kandang’ yang sama setelah berpisah sekitar sepuluh tahun. Kebudayaan dan pendidikan bergabung ke dalam kementerian pendidikan dan kebudayaan. Penyatuan ini bermula dari keprihatinan masyarakat luas tentang hasil pendidikan belakangan ini.

MASYARAKAT merasakan ada kemerosotan moral yang merata. Banyak orang berpendapat bahwa pendidikan menghasilkan orang-orang yang pandai tetapi kurang berkarakter [Indonesia], orang yang pandai tetapi tidak berwajah Indonesia. Sementara itu, dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada di depannya, manusia memandang pendidikan merupakan sebuah aset yang sangat diperlukan. Pendidikan, walaupun bukan panasea, memiliki peran penting dalam perkembangan menusia baik individual maupun sosial. Pendidikan dipandang sebagai satu-satunya ‘alat’ yang tersedia untuk mendorong terwujudnya pembangunan manusia seutuhnya.
Dalam catatan pendidikan akhir tahun ini diangkat sebuah pertanyaan bagaimana cara ‘memproduksi’ manusia Indonesia dengan kepandaian bertaraf internasional dan tetap berkepribadian [Indonesia] melalui pendidikan. Ada beberapa teori yang dapat digunakan dalam menelaah lokalitas vs globalitas dalam pendidikan. Di antaranya adalah: teori menanam pohon, teori memelihara burung dalam sangkar, teori mengasah batu mulia, serta teori DNA.

Teori Menanam Pohon
Pohon tidak dapat tumbuh di sembarang tempat dan sembarang situasi. Pertumbuhan dan perkembangan pohon memerlukan syarat-syarat lingkungan tertentu. Namun, jika kondisi lingkungan cocok dan tersedia nutrisi yang tepat, pohon akan tumbuh dan berkembang secara optimal. Teori menanam pohon berasumsi bahwa proses untuk mengembangkan pengetahuan dan kearifan Indonesia harus berakar pada nilai dan tradisi Indonesia tetapi menyerap sumber-sumber eksternal yang berguna serta relevan dari sistem pengetahuan global. Dengan demikian, untuk memelihara dan mengembangkan pengetahuan dan kearifan Indonesia dalam era globalisasi ini memerlukan indentitas Keindonesiaan dan akar budaya Indonesia.

Kurikukum mest didasarkan bahwa nilai-nilai dan budaya Indonesia tetapu menyerap pengetahuan dan teknologi global intik mendorong perkembangan indiovidu dan komunitas Indonesia sebagai warga negara. Hasilnya adalah “a local person with international outlook, who will act locally and develop globally”

Teori Memelihara Burung
Pemilik akan selalu menjaga burungnya jangan sampai mendapat gangguan apapun dari luar sangkar. Semua yang datang dari luar ‘dicekal’ oleh dinding sangkar. Si burung tahu beres. Teori ini beranggapan bahwa proses untuk mendorong pengenbangan pengatahuan dan kearifan Indonesia mesti terbuka dengan pengetahuan yang datang dari luar tetapi juga membatasi dan menfokuskan perkembangan Indonesia dalam berinteraksi dengan dunia luar untuk menemukan kerangka acuan yang tepat dan khas bagi Indonesia. Kerangka acuan ibi digunakan untuk menyaring pengentahuan dan teknologi yang datang dari luar serta melindungi masyarakat Indonesia dari dampak negatif pengaruh global.
Itu berarti diperlukan kerangka acuan yang jelas batas-batas ideologi serta norma sosialnya dalam merancang kkurikulum sehingga semua aktivitas pendidikan memilih fokus yang jelas bola menghadapi pengetahuan global. Karena itu, loyalitas ke-Indonesiaan harus menjadi bagian inti dari pendidikan. Pendidikan akan menghasilkan, “a local person with bounded global outlook, who can act locally with filtered global knowledge”

Teori Mengasah Batu Mulia
Kita tahu bahwa pancaran cahaya dari batu mulia sangat dipengaruhi oleh posisi bidang permukaan yang diasah.
Itu berarti, dalam mengembangkan pengetahuan dan kearifan Indonesia harus tersedia ’benih Indonesia’ yang dapat ’mengkristalkan’ dan mengakumulasi pengetahuan dan teknologi global bagi bangsa Ibdonesia.
Kurikulum mesti menggunakan kebutuhan dan nilai-nilai Indonesia sebagai ’benih’ untuk mengakumulasi pengetahuan dan tekbologi global. Hasil pendidikan yang menggunakan teori mengasah batu mulia adalah ” a local person who remains a local person with some global knowledge and can act locally and think locally with increasing global techniques”

Teori DNA
DNA (deoxyribonucleic acid) atau Asam deoksiribonukleatadalah sejenis asam nukleat biomolekul utama penyusun berat kering setiap organisme. DNA pada umumnya terletak di dalam inti sel.
Secara garis besar, peran DNA di dalam sebuah sel adalah sebagai materi genetik. DNA menyimpan cetak biru bagi segala aktivitas sel. Ini berlaku umum bagi setiap organisme. Implementasi teori ini dalam pendidikan adalah penekanan pada identifikasi dan transplantasi pengentahuan dan tenologi glonal pada rantai DNA untuk mengganti komponen Indonesia yang lemah.
Kurikulum mesti memilih secara selektif dan seksama baik pengetahuan Indonesia maupun pengetahuan dan teknologi global untuk dijadikan elemen pengembangan pengetahuan dan kearifan Indonesia. Hasil pendidikan dengan teori ini adalah “a person with locally and globally mixed elements, who can act and think with mixed local and global knowledge”
Para perancang pendidikan Indonesia masa depan sebaiknya menggunakan salah satu dari teori ini untum membangun manusia Indobesia seutuhnya melalui pendidikan. Model ini ada baiknya juga diadopsi oleh para perangcang pendidikan di tingkat local, Kalimantan Barat, misalnya. Sebagai catatan, pendidikan di Malaysia mengadopsi teori menanam pohon. Hasilnya adalah orang Malaysia yang kepandaianya betaraf internasional tetapi tetap memegang teguh nilai dan budaya Malaysia. Indonesia sebaiknya demikian. Semoga!**

Courstesy : Pontianak Post Sabtu, 24 Desember 2011
DEPKOMINFO BEM-REMA
READ MORE - Lokalitas Pendidikan di Era Global

Read more...

Sabtu, 24 Desember 2011

Pendidikan Holistik di Bumi Kalbar

oleh : WIlliam Chang

APAKAH pendidikan holistik itu? Pendidikan ini acapkali dilukiskan sebagai pendidikan utuh, menyeluruh, yang mencakup semua aspek hidup manusia. Pendidikan ini tidak hanya menyentuh lapisan otak/akal budi, tetapi seluruh kepribadian manusia (akal budi, emosi, spiritual, kreativitas, sosial dlsb). Pendidikan ini melibatkan semua anasir dalam hidup, kerja dan pergaulan manusia.

Memasuki abad ke-21, ratusan sekolah kecil dan program pendidikan berusaha menggabungkan pendidikan bersistem holistik, atau unsur-unsur pendidikan holistik, ke dalam kerja mereka di tengah dunia pelajar. Rentetan penyelidikan dalam dunia pendidikan dewasa ini erat terpaut dengan mutu dan efektivitas pendekatan-pendekatan holistik dalam proses pembelajaran jauh berbeda dari observasi-observasi sistematik dari para pendidik holistik dalam tahun 1800-an, yang lebih pada studi-studi kasus etnografis (terkait dengan kesukuan).

Pendidikan holistik lahir dalam sebuah konteks sosial, ekonomi, dan ekologi tertentu. Telah muncul beberapa pandangan tentang kelahiran pendidikan ini. Sistem pendidikan ini bukan peoduk baru karena sudah ada sejak dulu hingga kini. Ada yang berpendapat bahwa sistem pendidikan ini berasal dari J.J. Rousseau, Pestalozzi, Jung, Maslow, Paolo Freire. Namun ada yang menganggap bahwa sistem pendidikan ini adalah hasil perubahan paradigma kultural sejak tahun 1960-an.
Keadaan tahun 1960-an – 1970-an memiliki warna khas. Dalam kurun waktu ini terjadi krisis ekologi, peniadaan nuklir, polusi udara, keadaan keluarga, hilangnya komunitas-komunitas tradisional, nilai-nilai tradisional luntur, institusi-institusi tradisional lenyap, perambahan kekayaan alam terus-menerus padahal sumber kekayaan alam sangat terbatas. Masalah nilai-nilai dan pandangan kemanusiaan dalam gerakan pendidikan ini sangat kentara. Sekitar 7500-an sekolah dengan pendidikan. Nasionalisme dan lokalisme tradisional mendapat tantangan sebegitu kuat dan dianggap tidak memadai untuk berhadapan dengan realitas dunia. Kelahiran “wholism”, “whole earth ideas” terkait dengan keadaan hidup individual dan sosial dalam jamannya. Diharapkan manusia dapat berpikir global dan bertindak lokal. Tak heran kalau belakangan ini gencar dicanangkan etika glokal (etika yang bernilai global, tapi penerapannya berciri lokal).
Pendidikan holistik mengemban tugas khusus luhur. Pendidikan ini tidak hanya menggunakan sumber tunggal. Implikasi ilmu pengetahuan dalam hidup manusia masih bisa diperdebatkan. Dibandingkan dengan pendidikan konvensional, biasanya pendidikan ini bertugas merefleksikan dan menanggapi suatu pandangan baru dan yang telah diterima tentang bagaimanakah bisa menjadi lebih manusiawi secara lebih penuh? Walau begitu, gambaran tentang pendidikan holistik mencakup:
Nilai dan persepsi yang dianggap holistik mendapat perhatian. Proses menjadi lebih manusiawi (dalam diri manusia masih terdapat unsur hewani) – perkembangan integritas atau compassion (EQ). Dalam proses berpendidikan holistik dititikberatkan tujuan-tujuan, experiential learning, penggalian makna hubungan sosial, makna hubungan antara nilai-nilai manusiawi dan lingkungan pembelajaran. Bidang-bidang yang sering dianggap sebagai pendidikan holistik mencakup pengetahuan tentang manusia (humaniora), psikologi humanistik, psikologi transpersonal, pendidikan umum, spiritualitas dan pembelajaran
Pendidikan dalam bidang ini umumnya terkait dengan ekologi, emanisipasi (gender), keadilan sosial, karya sosial dalam bidang pendidikan. Ditekankan pentingnya cara pandang manusia yang berperspektif interdisipliner dan dalam suatu konteks keseluruhan yang dapat membantu manusia untuk lebih mengerti suatu masalah atau seseorang. Peserta didik berusaha mengerti sesuatu dalam jaringan hubungan dengan dimensi atau faktor lain. Bagaimanakah kita dapat menelaah dengan kritis budaya kaum muda kontemporer, kebudayaan computer dan kebudayaan internet. Sekarang kaum muda sedang memasuki n-generation. Makna konteks sosial, tradisional dan ekologi diangkat.
Pendidikan ini berusaha meninggalkan dikotomi klasik antara hati-otak, pengetahuan-agama, keindahan-fungsi, karena menimbulkan fragmentasi dalam hidup manusia. Dimensi gender tajam disoroti. Kesetaraan harkat dan manusia sebagai makhluk ciptaan luhur digaris-bawahi. Dimensi personal (kepribadian) manusia sungguh dihargai. Kesatuan manusia sebagai keterciptaan tak dapat dipungkiri. Tempat setiap manusia di dalam masyarakat dan tempat masyarakat di tengah-tengah dunia tetap dihargai.
Dimensi spiritualitas mendapat tempat utama dalam pendidikan holistik (Spiritual Quotient). Dimensi ini terkait dengan pandangan dan cara hidup. Hidup dan dunia pendidikan bukan sesuatu yang statis, melainkan dinamis atau dalam suatu proses perubahan. Dimensi inklusif pendidikan termasuk bagian dari pendidikan holistik. Pola pikir dan cara pandang eksklusif perlu dicermati dan disikapi.
Manusia belajar hidup bersama dengan yang lain. Ruang kelas dunia pendidikan seringkali dipandang komunitas. Pendidikan ini memberikan ruang yang luas untk mengembangkan hubungan-hubungan baik, terbuka, jujur, saling menghormati. Pendidikan ini tidak lagi mendahulukan kompetisi, namun proses saling endukung, kerja sama dalam saling pengertian. Hubungan baik antara pendidik dan peserta didik adalah cermin terbaik dalam dunia pendidikan ini.
Pendidikan ini mengembangkan metode-metode baru yang merefleksikan cara-cara terbaru demi perbaikan dan pengembangan hidup individual dan sosial. Kelas-kelas dalam pendidikan ini kecil, bercampur baur (asal-usul, mentalitas, usia), fleksibel (mutatis mutandis). Kebutuhan-kebutuhan dasar peserta didik sungguh diperhatikan dan ditanggapi dalam pendidikan holistik. Suatu sistem pendidikan yang terbuka bagi setiap manusia yang sungguh ingin menjadi lebih manusiawi.
Tiap pribadi menemukan identitas, makna dan tujuan dalam hidup manusia melalui hubungan dengan komunitas, alam dan nilai-nilai kerohanian, seperti belas kasih dan damai. Dalam dunia pendidikan ini telah terjadi pergeseran dari paham anthroposentrisme (manusia sebagai pusat) kepada kosmosentrisme (alam menjadi pusat). Manusia adalah salah satu dari sekian banyak anasir ciptaan dan bukan satu-satunya ciptaan.

Sudah waktunya daerah Kalimantan Barat menerapkan sebuah sistem pendidikan holistik, yang tidak hanya mencerdaskan anak-anak didik secara intelektual (Intelligence Quotient), tapi sanggup membina manusia yang cerdas dalam mengolah emosi (Emotional Quotient) dan meningkatkan dimensi kerohanian (Spiritual Quotient) yang sesungguhnya. Semua peserta didik memiliki kecerdasan majemuk.Pendidikan holistik adalah sebuah proses yang menelan tidak sedikit waktu, tenaga, pikiran, duit dan rancangan-rancangan yang lebih memanusiawikan manusia. Sebuah jaringan kerja sama, saling pengertian, dan kesetiakawanan memang sangat penting dalam mewujudkan sistem pendidikan holistik. (Praktisi Pendidikan).

Courtesy : Pontianak Post, 24 Desember 2011
DEPKOMINFO BEM-REMA
READ MORE - Pendidikan Holistik di Bumi Kalbar

Read more...

Gaji Rendah, Guru merangkap tukang becak



Nasib guru honorer di mana pun sama. Gaji jauh dari cukup dan guru terpaksa ngobjek untuk menutup kebutuhan hidup. Itu pula yang dijalani Sugeng, guru SMP Nusantara Bandar Lampung. Sudah 24 tahun dia mengajar. Namun, gaji yang diterima hanya Rp224 ribu. Untuk menambah penghasilan, dia rela menarik becak.

Tinggi mentari masih sepenggalah, menyinari bangunan SMP Nusantara di Jalan Jelantik No 16 Tanjungagung, Tanjungkarang Timur (TKT), Bandar Lampung. Saat itu seorang pria berpakaian batik berwarna cokelat kekuningan sedikit tergopoh-gopoh memasuki sebuah ruang kelas. Di tangannya, sebuah buku bergambar not balok tergenggam erat.

Tak lama kemudian, pria bernama Sugeng tersebut mengucapkan salam kepada siswa di sebuah kelas, yang sudah menunggu kehadirannya. Tanpa banyak bicara, pria yang tinggal di Jalan Bangau, Tanjungagung, TKT, itu menghampiri whiteboard. Dengan cekatan, dia mulai menggoreskan spidol hitam di tangan kanannya untuk menggambar not balok. Sejenak kemudian, bapak tiga anak tersebut dengan suara halus mulai menerangkan cara membuat dan membaca lambang-lambang itu.

Ya, Sugeng adalah guru kesenian sekolah itu. Profesi tersebut dia geluti sejak 1987. ”Awalnya, saya tidak pernah terpikir untuk menjadi seorang guru. Nasib yang menuntun saya menjalani profesi itu,” ujarnya kepada Radar Lampung (Group Batam Pos) setelah mengajar.

Pria 44 tahun tersebut merupakan alumnus SMP Nusantara. Dia lulus dari sekolah itu pada 1983. Setelah lulus SMP, dia melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) 1 Pahoman. Pendidikan tersebut berhasil dia selesaikan pada 1986. Setahun kemudian, pria berkulit sawo matang tersebut melamar sebagai staf tata usaha (TU) di SMP Nusantara.

Dari situlah, karirnya sebagai guru dimulai. Karena sekolah kekurangan guru, Sugeng yang memiliki bakat seni lantas diberi amanah untuk mengajar seni-budaya. Sebagai bentuk keseriusannya menekuni dunia pendidikan, dia lantas berupaya melanjutkan pendidikan. Pilihan akhirnya jatuh ke pendidikan guru sekolah menengah tingkat pertama (PGSMTP) di Pahoman. Di lembaga pendidikan setara D-1 tersebut, dia berhasil lulus dengan nilai cukup memuaskan.

”Waktu itu kebetulan di SMP Nusantara tidak ada guru kesenian. Karena saya dipandang punya bakat, saya lalu ditawari menjadi guru. Tawaran itu kemudian saya terima,” tuturnya sembari menatap barisan siswa yang berlatih upacara.

Sayang, meski telah mengabdikan diri selama 24 tahun, embel-embel guru honorer hingga kini tidak juga lepas. Saat ini dia hanya menerima honor Rp224 ribu per bulan. Pada zaman ini uang sejumlah itu tentu sangat jauh dari kata cukup.
Meski demikian, di tengah impitan ekonomi karena harus menghidupi keluarga, Sugeng mengambil keputusan yang cukup mengejutkan. Sejak 1993, dia memutuskan untuk menjadi pengayuh becak.

”Mau bagaimana lagi? Kerjaan ini yang paling bebas karena tidak ada tekanan atau tuntutan dari mana pun. Kapan saja saya punya waktu, saya bisa narik (becak),” ungkapnya.

Bagaimana cara membagi waktu? Jika mendapat jam mengajar siang, Sugeng mengayuh becak sore dan malam. Demikian sebaliknya. Dari usaha itu, dia bisa mengantongi penghasilan hingga Rp30 ribu per hari atau sekitar Rp900 ribu per bulan. Itu berarti sekitar tiga kali lipat penghasilannya sebagai guru. Meski kerap harus pulang hingga larut, dia tetap setia menjalani profesi tersebut.

Ketika guru lain bisa beristirahat, Sugeng masih harus menjalani profesi sampingan. Penampilannya pun berubah drastis. Jika saat mengajar mengenakan kemeja batik, ketika mengayuh becak baju itu dia ganti dengan pakaian ala kadarnya. Bahkan, dia sering mengenakan baju yang warnanya sudah pudar, celana selutut, sandal jepit, dan topi berwarna cokelat yang melindungi kepalanya dari sengatan matahari.

Itu pula yang terjadi saat Radar Lampung menyambanginya. Setelah mengecek kondisi becak kesayangan, dengan penuh percaya diri Sugeng mengayuhnya menuju Pasar Tugu TKT.

Terik mentari dan derasnya hujan sudah menjadi bagian hidupnya. Namun, itu semua tidak menjadi halangan berarti untuk terus mengayuh becak hitamnya. Tak jarang, ban becaknya kempis di tengah jalan. Jika sudah begitu, dia harus merelakan sebagian penghasilannya melayang ke tukang tambal ban.

Sugeng begitu telaten mengumpulkan uang dengan becaknya. Itu semua dia lakukan demi tiga buah hatinya yang membutuhkan biaya pendidikan. Yaitu; Ratih Sepsilawan, 17, yang kini duduk di bangku kelas XII SMA; Surya Galih, 14, pelajar kelas VIII SMP; dan si bungsu Singgih Remili Darma, 12, murid kelas VI SD.

Ya, Sugeng kini harus hidup dengan tiga anaknya tersebut. Sebab, sejak Maret 2011 sang istri memilih berpisah dengan alasan tidak mau hidup susah.

Penderitaan Sugeng makin lengkap karena sejak beberapa tahun terakhir sebuah virus yang belum diketahui jenisnya menggerogoti saraf bagian belakang kepalanya. Akibatnya, sebagian wajah Sugeng pernah berubah bentuk. Meski kini kondisinya berangsur normal, bagian mata sebelah kirinya masih tampak merah.

Meski juga dikenal sebagai pengayuh becak, di mata siswa dan rekan kerjanya, Sugeng dipandang terhormat. Itu tidak lain disebabkan sikap disiplin yang senantiasa dia tunjukkan kepada para anak didiknya. Sekalipun dalam kondisi sakit, dia tetap bersemangat menularkan ilmu kepada para siswa.

Sugeng juga dikenal sebagai guru yang selalu datang tepat waktu. ”Saya tidak ingin anak didik saya menunggu untuk diberi ilmu,” ucapnya, merendah.

Wakil Kepala SMP Nusantara Bidang Kesiswaan Kholinawati SPd juga mengakui hal itu. ”Pak Sugeng merupakan seorang yang sangat tabah, sangat bertanggung jawab, dan disiplin. Walaupun dalam kondisi sakit, dia tetap mengajar. Datangnya pun tidak pernah telat. Pokoknya, sangat disiplin,” katanya.

Senada, Ratih, anak Sugeng, menyatakan bangga meski sang ayah menekuni pekerjaan yang kerap dipandang rendah oleh sebagian orang tersebut. ”Saya justru bangga dengan bapak. Saya tidak malu punya bapak tukang becak,” katanya dengan yakin.

Di tengah kesibukannya, Sugeng masih menyimpan sebuah ambisi besar, yaitu melanjutkan pendidikan ke jenjang strata 1.

”Biar saya bisa diangkat (jadi PNS). Sekarang kan harus sarjana untuk dapat sertifikasi guru. Semoga Allah mengabulkan harapan itu,” katanya sambil menunduk. ***

READ MORE - Gaji Rendah, Guru merangkap tukang becak

Read more...

  © Blogger templates The Professional Template by BEM REMA STKIP-PGRI Pontianak 2011

Back to TOP