Kamis, 29 Desember 2011

Guru Spesial di Mata Soekarno

Pemimpin! Guru! Alangkah hebatnya pekerjaan menjadi pemimpin di dalam sekolah, menjadi guru di dalam arti yang spesial, yakni menjadi pembentuk akal dan jiwa anak-anak! Terutama sekali di zaman kebangkitan! Hari kemudiannya manusia adalah di dalam tangan guru itu, menjadi manusia”.

DEMIKIAN pendapat presiden pertama RI Ir. Soekarno tentang guru, yang penulis kutip dari buku karangannya, Dibawah Bendera Revolusi. Dalam pandangan Soekarno, guru adalah pekerjaan yang mulia karena di tangan gurulah masa depan bangsa ini ditentukan.Guru adalah pahlawan pembangunan, karena di tangan para guru, kelak lahir “pahlawan-pahlawan pembangunan” yang kelak mengisi ruang-ruang publik di negeri ini. Namun seorang guru juga bisa menjadi sebab hancurnya masa depan bangsa ini, mengingat tidak semua guru itu tindak tanduknya mencerminkan perilaku seorang guru. Tidak sedikit guru yang perilakunya justru berlawanan dengan predikatnya sebagai guru, atau tidak layak untuk diikuti dan apalagi dijadikan sebagai teladan bagi anak didiknya.
Lahirnya manusia-manusia yang berhati jahat, yang mengisi negeri ini tidak dengan pembangunan tapi dengan perbuatan jahat – berdampak munculnya keadaan yang tak menyenangkan seperti: kekerasan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bertanah air, terjadi wabah penyakit korupsi, penurunan moral, dan sebagainya – tentu saja “guru-guru” punya andil atas keadaan-keadaan yang tak menyenangkan tersebut.
Di dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, Soekarno menguraikan: “Guru yang sifat hakekatnya hijau akan “beranak” hijau, guru yang sifat hakekatnya hitam akan “beranak” hitam, guru merah akan “beranak” merah.”
Inti dari apa yang diuraikan Soekarno di atas menjelaskan bahwa hasil dari pendidikan sangat ditentukan oleh faktor guru. Guru yang tidak konsisten dengan apa yang diajarkan, di depan para murid ia mengajarkan kebaikan tetapi di belakang muridnya, ia justru melanggarnya, guru yang demikian tentu tidak patut dijadikan teladan, atau dalam istilah jawa digugu (dipatuhi) dan ditiru (diikuti). Karena itu tugas seorang guru, di samping melakukan tugas pengajaran di kelas (proses belajar mengajar), ia juga bisa menjadi teladan bagi murid-muridnya, yang dibuktikan dengan perilaku kesehariannya.
Oleh sebab itu Soekarno menganggap perlunya pendidikan yang demokratis yang berbasis kerakyatan. Beliau menguraikan, Inilah arti yang dalam daripada perkataan Proudhon berhubung dengan roh kerakyatan itu bahwa “democratic is pendocratic”, yakni bahwa “volks-regereen is kinder-regereen”. Inilah arti yang dalam daripada perkataan bijaksana satu sistem di mana opveendingprincipe mengambil tembat yang terkemuka dan terpenting...”
Sangat menarik di sini adalah Soekarno mengambil istilah kerakyatan dari Proudhon, pemikir sosialis yang hidup pada tahun 1809-1865. Lalu, apa inti pemikiran sosialis Proudhon itu? Proudhon sendiri dalam banyak hal sering berseberangan pendapat dengan Karl Marx dalam merumuskan sosialisme. Proudhon tidak suka dengan jalan pemberontakan dan pemogokan. Ia khawatir kekerasan terhadap pemilik modal akan menghasilkan kediktatoran dan anarki yang pada gilirannya akan mempertajam pertentangan kelas. Semula Proudhon menyebut sistemnya bukan sosialisme, melainkan mutualisme, yaitu sistem sosial yang didasarkan pada hubungan timbal balik.
Jadi berdasarkan “sistem mutualisme”, sistem hubungan timbal balik yang menjadi akar sosialisme Proudhon inilah pemikiran Soekarno dapat dibaca. Artinya, roh kerakyatan yang harus diterapkan di dalam proses pendidikan hendaknya didasarkan pada hubungan timbal balik antara guru dan murid. Dewasa ini, kecenderungan pemikiran semacam itu juga cukup kuat. Hubungan-hubungan yang sifatnya kemitraan dalam proses belajar mengajar perlu ditonjolkan sehingga tercipta hubungan interaktif-dialogis yang saling menguntungkan. Analisis ini juga diperkuat oleh pernyataan Soekarno, bahwa di dalam proses belajar, guru tidak boleh melakukannya dengan pola-pola indoktrinatif - atau seperti yang tertulis dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, dengan cara dogmatis.

Guru Spesial
Guru yang baik, guru yang menjadi harapan masyarakat, guru di dalam arti yang spesial menurut Soekarno adalah guru yang bukan saja memenuhi syarat-syarat teknik, melainkan juga memiliki semangat untuk membangun. Guru yang ideal, bukan sekedar guru yang memenuhi syarat-syarat teknik: pintar, pandai, dan sebagainya sesuai dengan bidang ilmu yang dimiliki, melainkan yang jauh lebih penting dari itu semua, guru harus bisa menempatkan dirinya sebagai agen perubahan (agent of change).
Sebagai agen perubahan (agent of change), seorang guru tidak seharusnya membicarakan realitas seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, dan terpisah satu sama lain dan dapat diramalkan. Jadi para guru menguraikan suatu topik yang sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para murid. Seolah-olah tugas guru adalah mengisi para murid dengan bahan-bahan yang dituturkannya, bahan-bahan yang lepas dari realitas, terpisah dari totalitas yang melahirkannya, dan dapat memberinya arti. Tugas guru adalah menumbuhkan keingintahuan anak didik dan mengarahkannya dengan cara yang paling mereka harapkan dan paling mereka minati. Jika anak didik diberi rasa aman, dihindarkan dari celaan dan cemoohan, berani berekspresi dan bereksplorasi secara leluasa, ia akan tumbuh dengan penuh rasa percaya diri dan berkembang menjadi dirinya sendiri.
Pada aras inilah seorang guru bisa menjadi pahlawan, yaitu “pahlawan pembangunan”, memiliki jiwa juang, memiliki semangat untuk berkurban, dan menjadi pionir bagi kemajuan masyarakat. Dengan demikian tugas seorang guru tidaklah ringan. Guru yang baik tidak hanya memberi tahu, tidak hanya menjelaskan, tidak hanya mendemonstrasikan, tapi juga bisa menginspirasi.
Seorang guru harus mampu memandang jauh ke depan, perubahan apa yang bakal terjadi di hari esok. Dengan demikian seorang guru akan merencanakan apa yang terbaik untuk diberikan kepada anak didiknya. Bagaimana ia sebagai motivator, memotivasi anak didiknya agar penuh semangat dan siap menghadapi serta menyongsong perubahan hari esok. Peran seperti inilah yang disebut oleh Presiden Soekarno, sebagai “Guru di dalam arti yang spesial, yakni menjadi pembentuk akal dan jiwa anak-anak.” ***

*) Penulis, Dosen Luar Biasa STAIN Pontianak. Menulis Buku Pendidikan di Mata Soekarno (2009).


Courtesy : Pontianak Post
DEPKOMINFO BEM REMA



  © Blogger templates The Professional Template by BEM REMA STKIP-PGRI Pontianak 2011

Back to TOP