8 Kritik Pendidikan 2011 versi PGRI
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menilai, kebijakan pendidikan Indonesia selama 2011 identik dengan tiga gejala, yaitu percobaan dan kegagalan (trial and error), reaktif (hit and run), serta cekik dan peras (kick and rush). Hal ini terlihat dalam berbagai peristiwa pendidikan sepanjang 2011.
Pertama, mekanisme penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang berubah-ubah. Pada 2010, penyaluran dana BOS tidak melibatkan pemerintah daerah (pemda), sementara pada 2011 penyaluran dana BOS melalui pemda.
Ketua Umum PGRI Sulistyo menyebutkan, penyaluran dana BOS pada 2011 merupakan mekanisme penyaluran terburuk.
"Dengan alasan agar lancar, penyaluran dana BOS pada 2012 mednatang dikembalikan seperti mekanisme pada 2010," ujar Sulistyo dalam Refleksi Pendidikan 2011 di Gedung Guru Indonesia, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (28/12/2011).
Kedua, lanjut Sulistyo, penerapan desentralisasi pendidikan dirasa tidak menguntungkan. Maka, akan dikembalikan ke dalam bentuk sentralisasi untuk kepentingan yang lebih besar. "Tetap harus ada evaluasi dari pemerintah agar tidak serta merta memusatkan guru di pusat atau di daerah," katanya menjelaskan.
Ketiga, terkait kesejahteraan guru yang meliputi penghasilan, ketenangan, dan keselamatan kerja. "Urusan penyaluran tunjangan profesi guru masih mengalami keterlambatan dan pemotongan, " tuturnya.
Selain keterlambatan dan pemotongan tunjangan guru, upaya profesionalisasi guru melalui sertifikasi juga menuai kontroversi. Pasalnya, untuk menempuh proses sertifikasi, para guru harus melawati sejumlah seleksi dan mendapatkan tekanan secara mental.
"Pendekatan kepada para guru untuk melakukan sertifikasi tidak perlulah dengan cara menakut-nakuti, misalnya dengan mengurangi atau mencabut tunjangan. Jangan jadi alat untuk menganiaya guru," katanya.
Sulistyo mengaku, memang masih ada guru dengan kualitas mengajar yang tidak sesuai standar sehingga mengalami kesulitan dalam mengikuti proses sertifikasi. Dia mencontohkan, banyak juga guru yang kinerjanya rendah karena proses perekrutan mereka yang asal, misalnya hanya lulusan SMP atau setingkat lainnya.
"Maka, kami juga mengupayakan untuk meningkatkan kinerja guru, profesionalitas guru, serta kinerja birokrasi pendidikan," ujarnya.
Keempat, lanjut Sulistyo, pendidikan karakter yang dicanangkan oleh pemerintah terancam gagal. Pendidikan karakter bukan hanya berlangsung di sekolah, tapi dimulai dari keluarga dan diaplikasikan dalam masyarakat luas.
"Para guru selaku pendidik merasa miris melihat perilaku pemimpin yang minim teladan dan penegakkan hukum yang merisaukan. Tidak jarang guru merasa stres karena tidak sanggup menanggung beban dalam pendidikan karakter ditambah persoalan pribadi terkait birokrasi," kata Sulistyo.
Kelima, yaitu Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang sarat diskriminasi, melemahkan nasionalisme, dan menjadi lahan korupsi.
Keenam, Ujian Nasional (UN). PGRI menilai, UN bukan hanya gagal meningkatkan mutu, tetapi juga menanamkan nilai koruptif pada murid.
"Soal pilihan ganda pada UN harusnya diganti dengan soal-soal yang lebih kreatif dan mengasah daya pikir anak dalam memecahkan suatu persoalan," ujar Sulistyo.
Tujuh, terkait Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) guna mengganti UU Badan Hukum Pendidikan (BHP). RUU PT mendapat dukungan dari PT yang menerapkan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dengan tujuan memperoleh payung hukum dalam mengomersialkan pendidikan.
Terakhir, munculnya radikalisme, perekrutan murid oleh berbagai aliran sesat, serta tawuran pelajar yang meningkat dua kali lipat. Kondisi ini menjadi wujud nyata konsep pendidikan karakter yang diusung pemerintah belum membuahkan hasil.
"Sementara, isu pendidikan pada 2012 kami perkirakan masih berkisar mengenai pendidikan dan kebudayaan, mekanisme dana BOS SMA/SMK, sentralisasi guru atau pendidikan, profesionalisme dan sertifikasi guru, pendidikan karakter, RSBI dan RUU PT, serta UN," ujar Sulistyo menandaskan.