Oleh: Ardiani Mustikasari, S.Si, M.Pd
Mutu Pendidikan sudah lama menjadi bahan perbincangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa mutu pendidikan di Indonesia belum menggembirakan. Kondisi sekolah, seperti kurikulum sekolah yang tidak disahkan dan direview, banyaknya peserta didik yang belum dapat mencapai kompetensi yang diharapkan, proses pembelajaran yang belum sesuai standar, partisipasi masyarakat yang semakin menurun, kerusakan gedung sekolah, kurangnya kualitas guru di daerah, serta masalah pemerataan guru masih banyak dijumpai.
Sebagai komitmen terhadap mutu, pemerintah merancang sistem penjaminan mutu pendidikan (SPMP). SPMP dituangkan dalam Permendiknas No. 63 tahun 2009. Dalam Permendiknas tersebut dinyatakan bahwa “Penjaminan mutu adalah serangkaian proses dan sistem yang terkait untuk mengumpulkan , menganalisis, dan melaporkan data mutu tentang kinerja staf, program, dan lembaga” . Dengan demikian dalam rangka mengimplementasikan SPMP diawali dengan kegiatan mengumpulkan data berdasarkan kondisi real untuk mendapatkan data yang valid. Data yang terkumpul akan dianalisis dan dilaporkan, dan digunakan sebagai sumber data dalam menyusun program atau kebijakan selanjutnya. Akhirnya akan tersusun program-program dari data yang buttom up, sesuai kebutuhan dan tepat sasaran bagi peningkatan mutu pendidikan. Kegiatan ini dilakukan terus menerus untuk menciptakan budaya mutu.
Sekolah adalah ujung tombak penjaminan mutu. Namun demikian keberhasilan implementasi SPMP tidak hanya tanggung jawab satu lembaga atau satu individu saja. Implementasi SPMP diperlukan komitmen dari berbagai pihak terkait. Dapat dikatakan quality is everybody bisnis atau mutu adalah tanggung jawab setiap orang.
Berkaitan dengan perannya sebagai ujung tombak penjaminan mutu, sekolah wajib mengoperasionalkan delapan standar nasional pendidikan yang meliputi: Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Penilaian, Standar Proses, Standar Pengelolaan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, serta Standar Pembiayaan. Kedelapan Standar Nasional Pendidikan inilah yang dijadikan sebagai acuan mutu pendidikan. Dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dinyatakan bahwa “Dalam rangka melakukan penjaminan mutu pendidikan pemerintah menetapkan standar nasional pendidikan”. Dengan demikian sekolah wajib mencapai atau melampaui delapan standar nasional pendidikan tersebut. Dokumen delapan standar nasional pendidikan menjadi dokumen wajib bagi sekolah untuk dimiliki, dikaji, dianalisis dan diimplementasikan di sekolah.
Kegiatan yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam mengimplementasikan SPMP, diantaranya adalah melakukan Evaluasi Diri Sekolah (EDS). EDS adalah proses evaluasi diri yang didorong secara internal oleh sekolah itu sendiri dengan melibatkan pemangku kepentingan guna melihat kinerja sekolah terhadap pencapaian SPM dan SNP yang hasilnya dipakai sebagai dasar dalam peningkatkan mutu proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa yang terumuskan dalam RKS.
Sekolah melakukan EDS karena merasa perlu mengevaluasi kinerjanya terhadap pencapaian standar nasional pendidikan. EDS dilakukan oleh sekolah dan untuk sekolah. Jadi EDS dilakukan karena komitmen dari pihak sekolah sendiri untuk selalu memperbaiki dan mengembangkan sekolahnya, bukan karena tuntutan pihak luar, misal karena dikejar-kejar atau diminta laporan oleh pihak dinas atau LPMP.
Sebagian sekolah telah melaksanakan EDS. Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti dalam pelaksanaan EDS adalah sebagai berikut: 1) Keterlibatan komite dan orang tua belum optimal; 2) Pembinaan pengawas ke sekolah binannya belum optimal; 3) Kemampuan mengoperasikan computer pada beberapa sekolah masih kurang; 4) Adanya sekolah yang tidak memiliki komitmen untuk melakukan EDS.
Komite dan wakil orang tua sebagai anggota tim pengembang sekolah belum optimal melakukan tugasnya. Komite dan wakil orang tua di beberapa sekolah sekedar menghadiri kegiatan pengisian instrument EDS, tetapi tidak terlibat memberikan sumbangan-sumbangan pemikiran untuk mengisi dan menganalisis instrument EDS. Bahkan beberapa sekolah merasa enggan untuk melibatkan komite dan wakil orang tua karena beranggapan tidak ada artinya pelibatan mereka. Untuk itu perlu perubahan pola pikir dari pihak sekolah bahwa keterlibatan komite dan orang tua ini sangat dibutuhkan dalam melakukan EDS. Tidak hanya sekedar tertulis dalam SK, penunjukan komite dan wakil orang tua harus yang benar-benar memiliki komitmen dan kapasitas untuk turut mengembangkan sekolah melalui kegiatan EDS. Dengan keterlibatan komite dan orang tua membuat mereka memahami kondisi sekolah dan kondisi yang harus dicapai sekolah, yang selanjutnya dapat memunculkan komitmen dan tanggung jawab yang lebih tinggi untuk turut serta mengembangkan sekolahnya.
Peran pengawas dalam implementasi EDS di satuan pendidikan dapat dikatakan belum optimal, meskipun tidak terjadi pada semua pengawas. Ada sebagian pengawas yang tidak benar-benar mendampingi sekolah binaannya untuk mengisi dan menganalisis EDS. Bahkan dijumpai pengawas yang belum memahami apa, mengapa dan bagaimana EDS. Sementara pengawas merupakan anggota tim pengembang sekolah, peran pengawas adalah membina sekolah dalam melakukan EDS sekaligus memonitor valid atau tidaknya data EDS, karena data ini akan digunakan sebagai dasar dalam penyusunan laporan monitoring sekolah oleh pemerintah daerah (MSPD). Dengan demikian keterlibatan pengawas dalam melakukan EDS mempermudah tugasnya dalam menyusun MSPD.
Kurangnya penguasaaan ICT juga menjadi kendala dalam pelaksanaan EDS. Khususnya pada jenjang pendidikan dasar. Keterbatasan SDM dalam mengoperasikan komputer menyebabkan kesulitan untuk menyelesaikan EDS. Kondisi yang dijumpai adalah sebagian sekolah memiliki hard copi laporan EDS tetapi file tidak ditemukan bahkan sudah tidak tersimpan lagi, ini menjadi kendala dalam memperbaiki data. Penguasaan ICT mendukung keterlaksanaan EDS, apalagi dengan adanya instrument EDS online yang harus diisi oleh sekolah berdasarkan EDS manual. Selain itu beberapa sekolah yang telah memiliki fasilitas on line mempermudah komunikasi dengan pendampingan, melalui pemanfaatan email, chatting, web/blog, facebook dan sebagainya sehingga EDS terlaksana lebih optimal.
Sementara itu sekolah yang memiliki sumber daya memadai tetapi tidak ada komitmen untuk melakukan EDS juga menjadi kendala. Sejak awal sekolah tidak merespon program EDS, karena belum merasakan manfaat dari EDS. Hal tersebut membutuhkan kerjasama yang lebih erat dan komunikasi yang lebih intensif antara pendamping, pengawas dan pihak sekolah.
Dengan perannya sebagai ujung tombak penjaminan mutu, sekolah memerlukan dukungan dari berbagai pihak terkait. Beberapa kegiatan yang tidak dapat ditindaklanjuti oleh sekolah tentunya akan ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah baik kab/kota, propinsi, maupun pemerintah pusat, termasuk LPMP sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP) benar-benar harus terpahami dan terinternalisasi pada diri setiap pemangku kepentingan. Sudah saatnya untuk mengubah pola kerja yang berorientasi kuantitas atau keterlaksanaan tugas menuju orientasi mutu / kualitas. Sampai saat ini kita masih merasakan bahwa program-program yang dilakukan berbagai instansi terkait masih sekedar berjalan atau hanya mencapai target kuantitas. Budaya mutu yang seharusnya dibangun tidak hanya di sekolah belum tercipta.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa sistem penjaminan mutu pendidikan dapat terimplementasi sesuai yang diharapkan dan mampu meningkatkan mutu pendidikan ketika ada komitmen dari semua pihak terkait. Sekolah meningkatkan perannya sebagai ujung tombak penjaminan mutu pendidikan. Instansi terkait lainnya menjalankan peran sesuai wewenangnya masing-masing. Bersama-sama membangun budaya mutu. Hal tersebut bukan sebuah pekerjaan yang semudah membalikkan telapak tangan, tetapi membutuhkan kerja keras dan usaha. Karena tidak akan ada artinya ketika sistem sudah baik tetapi SDM yang ada tidak memiliki komitmen untuk mencapai mutu.
Source : http://edu-articles.com
Editor : DEPKOMINFO BEM REMA